Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HUKUM TABUNGAN EMAS DI PEGADAIAN

EMAS
HUKUM TABUNGAN EMAS DI PEGADAIAN
sumber pixabay.com
 

HUKUM TABUNGAN EMAS DIPEGADAIAN

Tabungan Emas ialah service pembelian dan pemasaran emas dengan sarana titipan. Prosesnya: (1) nasabah buka rekening Tabungan Emas di kantor cabang Pegadaian dengan isi formulir pembukaan rekening dan bayar bea administrasinya Rp 10.000; (2) nasabah bayar bea sarana titipan sepanjang 12 bulan sejumlah Rp 30.000; (3) nasabah beli emas dengan kelipatan 0,01 gr atau sejumlah Rp 5.520,- (harga per 23 Maret 2017). Contoh, bila beli 1 gr, harga = Rp 5.520 X 100 = Rp 552.000; (4) bila nasabah memerlukan uang kontan, nasabah bisa jual kembali (buyback) saldo titipan emasnya ke Pegadaian minimum 1 gr dan nasabah akan terima uang kontan Rp 530.000 (bukan Rp 552.000); (5) bila menginginkan emas batangan, nasabah bisa lakukan order bikin sesuai opsi keping (5gr, 10gr, 25gr, 50gr, dan 100gr) dengan bayar bea bikin. (www.pegadaian.co.id).


Berdasar bukti hukum (manath) di atas, Tabungan Emas di Pegadaian hukumnya haram, karena 4 (empat) argumen sbb;


Pertama, karena dalam transaksi bisnis jual beli emas itu Pegadaian sudah jual emas yang tidak dipunyainya. Karena emasnya belum diciptakan di saat ikrar jual beli. Walau sebenarnya Islam sudah larang jual beli barang yang tidak dipunyai, sama sesuai sabda Nabi SAW,"Jangan sampai kamu jual apapun yang tidak berada di sisimu." (laa tabi' maa laysa ‘indaka). (HR Ahmad). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, kalimat "apapun yang tidak berada di sisimu" (maa laysa ‘indaka) bisa memiliki makna "apapun yang bukan punyamu" (maa laysa fii milkika). (Imam Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/288).


Ke-2 , karena dalam transaksi bisnis jual beli emas itu tidak terjadi serah-terima (taqaabudh) secara kontan. Kenyataannya nasabah cuma memberikan uang tanpa terima emasnya secara fisik. Walau sebenarnya emas terhitung 6 (enam) barang ribawi yang menyaratkan serah-terima secara kontan sama sesuai sabda Nabi SAW,"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut (al sya'ir bi al sya'ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama ukurannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilaksanakan dengan kontan (yadan bi yadin). Apabila berlainan beberapa jenisnya, karena itu juallah sesukamu asal dilaksanakan dengan kontan (yadan bi yadin)." (HR Muslim, no 1587). Hadits ini memperlihatkan bila emas dijualbelikan, harus ada serah-terima (taqabudh) fisiknya secara kontan, yang diperlihatkan oleh sabda Nabi SAW "yadan bi yadin" (dari tangan ke tangan) atau secara kontan, bukan hanya dicatat dalam buku tabungan.


Ke-3 , karena pada ikrar penitipan terjadi transaksi bisnis riba pada dua titik, yakni ongkos sarana penitipan dan harga buyback yang lain dengan uang yang dipercayakan. Apa yang di-claim "penitipan emas" sebetulnya tidak ada, karena emasnya belum diciptakan . Maka penitipan yang ada sebetulnya bukan penitipan fisik emas tetapi penitipan uang sebagai harga emas, yang syar'i tidak bisa digolongkan titipan (wadi'ah) tetapi qardh (utang). Karena itu ongkos titipan sebetulnya ialah riba karena sebagai tambahan atas qardh. Demikian juga saat terjadi buyback, sebetulnya kenyataannya bukan nasabah jual kembali emasnya tetapi cuma minta uangnya kembali tetapi mendapatkan pengembalian yang nilainya berbeda. Karena itu beda yang dicicipi Pegadaian itu terang riba.


Ke-4, terjadi multiakad (hybrid contracs), yakni kombinasi ikrar jual beli dengan ikrar qardh (yang di-claim sebagai ikrar penitipan emas). Walau sebenarnya syariah sudah larang multiakad sama sesuai hadits Ibnu Mas'ud RA jika Nabi SAW sudah larang dua persetujuan pada sebuah persetujuan (shafqataini fii shafqah wahdah). (HR Ahmad). Wallahu a'lam.


Semoga Bermanfaat Terima Kasih